Si
Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang
menjadi legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung. Mereka amat
disegani lawan-lawannya. Baik si Pahit Lidah maupun si Mata Empat,
keduanya merasa paling hebat di antara keduanya.
”Ha..ha..ha..akulah
yang paling hebat sejagat raya ini, tak ada yang bisa menandingiku”,
ucap si mata empat di depan umum ketika mempertunjukkan kehebatannya.
”Hei si Mata Empat..sombong sekali kau, apa belum tahu kehebatanku?”
teriak si Pahit Lidah kepada si Mata Empat. Si Mata Empat pun menjadi
geram dan rasanya ingin segera menghajar si Pahit Lidah. Namun niatnya
tersebut diurungkan karena kalau berkelahi secara langsung tentu dia
akan kalah dengan kutukan lidahnya yang pahit itu
”Baiklah, sekarang saya beri kelonggaran untukmu yang telah lancang
kepadaku Pahit Lidah, saya akan membuktikan seberapa hebat kesaktianmu.
lima hari dari sekarang di dekat Danau Ranau setelah matahari terbenam.
Bagaimana apakah kau sanggup?” tanya si Mata Empat menantang si Pahit
Lidah.
”Baiklah..dengan senang hati saya terima tantanganmu Mata Empat,
lagipula aku sudah tak sabar ingin menghajar orang sombong macam kau!!”
jawab si Pahit Lidah dengan lantang.
Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di
antara mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengadu kekuatan
masing-masing.
Maka tibalah pada hari yang sangat menentukan itu. Mata Empat
menggunakan permainan licik yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
Caranya, secara bergiliran keduanya harus tidur menelungkup di bawah
rumpun bunga aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh salah
satu di antara mereka. Siapa bisa menghindar dari bunga dan buah aren
yang lebat dan berat itu, dialah yang akan disebut jawara sakti. Setiap
orang diberi kesempatan memotong tiga kali bila buah yang di jatuhkan
belum mengenai musuh. Si Pahit Lidah tidak mengetahui kalau Mata Empat
telah berbuat licik terhadapnya. Tapi si Pahit Lidah menerima saja
tantangan Mata Empat tersebut.
Lalu keduanya melakukan undian dengan aturan yang telah mereka sepakati.
Akhirnya si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, si
Mata Empat juga memiliki dua mata lain, yakni di belakang kepalanya.
Dengan secepat kilat si Pahit Lidah lalu memanjat pohon aren yang ada di tepi danau tersebut.
”Hei Mata Empat yang sombong terimalah ini, selamat tinggal untuk selama-lamanya.” ucap Pahit Lidah kepada Mata Empat.
Dengan tenangnya si Mata Empat menelungkup di bawah pohon.
Cring…byar…buah aren berhasil di potong dan di jatuhkan oleh si Pahit
Lidah.
Tentu saja si Mata Empat bisa melihat arah jatuhnya buah aren tersebut.
mata di kepala mata empat bisa melihat ketika bunga aren jatuh meluncur
ke ke arah Mata Empat. Dengan mudahnya si Mata Empat bisa menghindar
dari runtuhan buah aren tersebut.
”Ha..ha..ha..ha..apakah hanya itu saja kemampuanmu hai pahit lidah”
dengan sombong Mata empat mengejek si Pahit Lidah yang ada di atas
pohon.
”Kurang ajar, ternyata kau belum mati juga” dengan kesal si Pahit Lidah
memotong buah aren yang lebih besar. Tapi si Mata Empat dapat menghindar
lagi dari jatuhan buah aren tersebut.
”Wahai Pahit Lidah saya kasih kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan
kemampuanmu” ujar Mata Empat dengan sombongnya. Dengan perasaan hampir
putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren yang lebh besar dari yang
kedua. Tapi dengan kemampuan yang dimilikinya, Mata Empat bisa
menghindar untuk ketiga kalinya dari jatuhan buah aren tersebut.
Dengan perasaan kecewa si Pahit Lidah turun dari pohon aren tersebut.
Kini giliran si Pahit Lidah untuk manjat pohon aren. Dengan secepat
kilat juga si Mata Empat memanjat dan si Pahit Lidah sudah
menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu.
”Pahit lidah apakah kau sudah siap dengan kematianmu?”tanya si Mata Empat kepada si Pahit Lidah.
”Jangan banyak oceh kau. Cepat potong buahnya!”jawab Pahit Lidah.
Si Mata Empat pun memotong buah aren tersebut. Clazzz…gugusan buah are itu meluncur deras ke bawah.
Si pahit lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Ia tak menghindar.
”Akhhhh…” Pahit Lidah berteriak kesakitan sejadi-jadinya. Buah aren yang
besar dan berat tersebut mengenai tubuh si Pahit Lidah. Tubuhnya
bersimbah darah dan ia tewas seketika secara mengenaskan.
”Ha..ha..ha..ternyata kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
kesaktianku.” Si Mata Empat senang, dan merasa puas. Ia bisa membuktikan
pada semua orang, dirinyalah yang lebih sakti dari si Pahit Lidah.
Namun rasa ingin tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan
si Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran,
ia cucukkan jarinya ke dalam mulut si pahit lidah yang sudah mati itu.
Setelah itu, dicecapnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur di Pahit
Lidah.
”Benar, rasanya pahit sekali. Rasanya lebih pahit dari akar brotoali.”
Rupanya itu racun yang mematikan. Si Mata Empat pun mengerang-erang
kesakitan memegangi tenggorokannya. Tapi apa mau dikata. Racun tersebut
telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan seketika itu juga tubuhnya
membiru. Maka si Mata Empat pun juga tewas di tempat yang sama. Akibat
terlalu sombong dan angkuh. Merasa dirinya paling hebat di dunia ini,
padahal masih ada yang lebih hebat sejagat raya ini yaitu Allah SWT.
Kedua jawara ini lalu dimakamkan oleh penduduk setempat di tepi Danau
Ranau yang menjadi saksi sejarah pertarungan antara si Pahit Lidah dan
si Mata Empat.